Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI RANGKASBITUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Rkb UJANG JUHERI KEPALA KEPOLISIAN RESOR LEBAK Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 15 Nov. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Rkb
Tanggal Surat Selasa, 15 Nov. 2022
Nomor Surat 003/SK-S/009/XI/2022
Pemohon
NoNama
1UJANG JUHERI
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RESOR LEBAK
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
 
FIAT  JUSTITIA  RUAT  COELUM___________________________________________________
Kantor: Jl. Saga - Pekong RT. 004/ 002 Kel. Saga Kec. Balaraja - Tangerang 15610
Telp. (021) 5945 1313 Email: info.senopati@gmail.com
 
 
Tangerang, 15 November 2022
 
Kepada Yth. :
KETUA PENGADILAN NEGERI RANGKASBITUNG
Jl. R.A. Kartini No. 55 Rangkasbitung - Lebak
Di.-
TEMPAT 
 
 
PERIHAL : PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
 
DENGAN HORMAT,
Perkenankan kami yang bertandatangan dibawah ini MASJIKNURSAGA, S.H., M.H., SOLIHIN, S.H., HERI DJAUHARI, SH., UJANG KOSASIH, S.H., DADANG SAPUTRA, S.H., SATIRI, S.E., S.H. dan FAQIH AFIF RIDLO, S.H. ADVOKAT/ Legal Consultant pada Kantor “FIRMA HUKUM SENOPATI”beralamat kantor di Jl. Saga-Pekong RT. 004/ RW. 002 Kel./Desa Saga, Kecamatan Balaraja Kabupaten Tangerang 15610, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 003/SK-S/009/XI/2022 Tanggal 09 November 2022, bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk dan atas nama Pemberi Kuasa (Klien):
 
UJANG JUHERI, Tempat Tanggal Lahir Lebak, 28 Mei 1969, Laki-laki, Islam, Karyawan Swasta, Alamat (KTP) Kampung Kadu Hauk RT.001 RW. 001 Desa Kadu Hauk Kec. Banjarsari, Kab. Lebak – Banten, Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.
 
Dengan ini PEMOHON mengajukan pemeriksaan Praperadilan atas pelanggaran Hak-Hak Asasi PEMOHON, sebagimana diatur dalam BAB X Bagian Kesatu KUHAP dan BAB XII Bagian Kesatu KUHAP, yang dilakukan oleh:
 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (KAPOLRI) Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH (KAPOLDA) BANTEN Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR (KAPOLRES) LEBAK, Berkantor di Jl. Siliwangi KM. 01, Cileuweung, Kec. Rangkasbitung Kab. Lebak, Banten 42313, Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.
 
 
 
 
 
 
Adapun dasar Permohonan pemeriksaan Praperadilan adalah sebagaimana diatur dalam BAB X Bagian Kesatu, Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan alasan-alasan sebagai berikut:
 
I.DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
1.Bahwa hakekatnya pranata Praperadilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic. Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Dalam hal wewenang dilaksanakan secara sewenang wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui paranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara (ic. PEMOHON);
 
2.Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka (ic. PEMOHON) adalah dengan norma dasar mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah kunci utama dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (ic. Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan maupun penahanan, dengan kata lain, adanya “status tersangka” itu menjadi alasan hukum bagi aparat penegak hukum (ic. Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka;
 
3.Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka adalah melalui pranata Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;
 
4.Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim telah membuat putusan terkait penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan dalam putusan Nomor: 04/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel Tanggal 16 Februari 2015, yang amarnya berbunyi: “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh TERMOHON berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON”;
 
5.Bahwa pranata Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28 April 2015;
 
 
 
 
6.Bahwa apabila memperhatikan praktek peradilan melalui putusan Praperadilan atas penetapan Tersangka dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014, Tanggal 28 April 2015, yang berbunyi: “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan tersangka, padahal dalam prosesnya ada kekeliruan, maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum” (Putusan MK Hal. 105-106), maka cukup alasan hukumnya bagi PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui Praperadilan yang mulai ini;
 
7.Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28 April 2015, yang berbunyi: Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981, No. 76, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981, No. 76, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan Tersangka menurut hukum adalah merupakan objek Praperadilan;
 
8.Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, sangatlah beralasan dan cukup alasan hukumnya dalam hal Praperadilan yang dimohonkan PEMOHON ini diajukan kehadapan hakim, sebab yang dimohonkan oleh PEMOHON untuk diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status PEMOHON yang menjadi Tersangka dan akan berakibat hilangnya kebebasan PEMOHON, dilangggarnya hak asasi PEMOHON akibat tindakan TERMOHON yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana dan dilakukan dengan prosedur yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh karenanya Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum;
 
 
 
 
II.ALASAN PERMOHONAN PRA PERADILAN
 
1.Bahwa PEMOHON telah Ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan oleh TERMOHON berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor Sp.Han/157/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 7 November 2022 atas dasar Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Dik/147/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022 atas LAPORAN POLISI Nomor: LP-B/06/XI/2022/SPKT/Sek Banjarsari/Polres Lebak/Polda Banten Tanggal 5 November 2022, terkait Dugaan Tindak Pidana  Membawa  dan Menguasai Senjata Tajam, atau tindak pidana Ancaman Kekerasan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 1951 tentang Undang-Undang Darurat atau Pasal 335 KUHP;
 
2.Bahwa peristiwa penangkapan PEMOHON yang dilakukan TERMOHON, terjadi pada hari Sabtu Tanggal 5 November 2022 sekitar Jam 01:00 di Kp./Kel. Kadu Hauk Kec. Banjarsari Kab. Lebak, berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor Sp.Kap/170/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022, artinya PEMOHON ditangkap terlebih dahulu oleh TERMOHON tanpa didahului proses Penyelidikan dan Penyidikan;
 
3.Bahwa penangkapan terhadap diri PEMOHON yang dilakukan TERMOHON tanpa menunjukan surat tugas dan surat perintah penangkapan bertentangan sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (1) KUHAP. Artinya penangkapan yang dilakukan TERMOHON wajib berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud Pasal 17 KUHAP;
 
4.Bahwa PEMOHON sangat keberatan terhadap proses penangkapan dan penahan yang dilakukan oleh TERMOHON (Ic. TIM RIKSA UNIT I KRIMUM POLRES LEBAK), dikarenakan Laporan Polisi LP-B/06/XI/2022/SPKT/Sek Banjarsari/Polres Lebak/Polda Banten Tanggal 5 November 2022 adalah MODEL B sebagaimana dimaksud PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA yang mana memerlukan proses upaya paksa TERMOHON diperlukannya 2 (dua) alat bukti yang sah dan didukung barang bukti, dan dengan sangat cepat PEMOHON ditangkap dalam 1 (satu) hari setelah Laporan Polisi Tanggal 5 November 2022 dibuat TERMOHON;
 
5.Bahwa dengan sangat cepatnya TERMOHON menentukan diri PEMOHON sebagai tersangka atas SURAT PERINTAH PENYIDIKAN Nomor: Sp.Dik/147/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022, sangatlah tidak mendasar atas hukum, hanya berselang 1 (satu) hari proses “Pro Justitia” yang dilakukan TERMOHON;
 
6.Bahwa serangkain tindakan TERMOHON atas kesewenang-wenangannya dalam menegakkan hukum menimbulkan kerugian terhadap diri PEMOHON atas terampasnya hak-hak asasi PEMOHON, merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib ditempuh oleh TERMOHON untuk mencapai proses penentuan PEMOHON sebagai Tersangka dalam perkara a quo. Adanya prosedur ketentuan hukum dimaksudkan agar tindakan penyelidikan/ penyidikan (ic. TERMOHON) tidak sewenang-wenang mengingat PEMOHON mempunyai hak asasi yang harus dilindungi.
 
 
 
 
III.TENTANG HUKUMNYA
 
1.Bahwa berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor Sp.Kap/170/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022, Surat Perintah Penahanan Nomor Sp.Han/157/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 7 November 2022 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Dik/147/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022 atas LAPORAN POLISI Nomor: LP-B/06/XI/2022/SPKT/Sek Banjarsari/Polres Lebak/Polda Banten Tanggal 5 November 2022 dikaitkan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 21/ PUU–XII/2014 Tanggal 28 April 2015 terkait norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka penetapan PEMOHON sebagai Tersangka ini muncul pertanyaan: Kapan TERMOHON memperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah yang termuat dalam ketentuan Pasal 183, Pasal 184 KUHAP yang dijadikan dasar oleh TERMOHON melakukan penahanan dan menetapan PEMOHON sebagai tersangka?;
 
2.Bahwa untuk menjawab pertanyaan di atas, maka terhadap tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka harus diuji dengan norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 14 KUHAP dihubungkan dengan norma Pasal 183, Pasal 184 KUHAP untuk menilai apakah tindakan TERMOHON ini sah atau tidak sah, dan apabila dihubungkan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
 
3.Bahwa merujuk norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, selanjutnya muncul pertanyaan: kapan minimal dua alat bukti itu didapat oleh TERMOHON?, apakah minimal dua alat bukti itu didapat pada tahap Penyelidikan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 KUHAP?, atau pada tahap Penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 KUHAP?;
 
4.Bahwa jelas dan terang bahwa norma Pasal 1 angka 5 KUHAP menyebutkan penyelidikan diartikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya penyidikan”. Sedangkan penyidikan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu “serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”;
 
5.Bahwa merujuk pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagaimana termuat dalam norma Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 2 KUHAP, untuk mencapai proses penentuan Tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat dijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu peristiwa pidana. Setelah proses penyelidikan tersebut dilalui, maka dilakukan rangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yang terjadi (penyidikan);
 
 
 
 
6.Bahwa dasar hukum TERMOHON dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan atas diri PEMOHON adalah KUHAP, yang mana ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP mengatur penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sedangkan pengumpulan bukti-bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidananya dan menemukan tersangkanya dilakukan pada saat penyidikan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, cukup alasan hukumnya ketika sampai dalam tahap akhir penyelidikan, yang didapat TERMOHON sebagai simpulan adalah berupa “menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”, dan bukan serta merta TERMOHON sudah dapat menentukan calon Tersangkanya (ic. PEMOHON);
 
7.Bahwa tindakan TERMOHON untuk menentukan PEMOHON sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dalam KUHAP yang harus ditempuh oleh TERMOHON secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi PEMOHON yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti oleh TERMOHON untuk mencapai proses penetapan PEMOHON sebagai Tersangka tersebut tidak dipenuhi, maka sudah pasti proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/ dibatalkan;
 
8.Bahwa sejalan dengan norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, dalam pasal lainnya yaitu Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur pengertian penyidikan yang mestinya tidak ada keraguan lagi untuk menyatakan tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan tiga hal, yaitu: (1) Bukti; (2) Tindak Pidana; dan (3) Pelakunya (Tersangkanya). Oleh karena itu, penentuan ada tidaknya tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana ditentukan oleh bukti yang berhasil ditemukan penyidik (ic. TERMOHON).. Dengan demikian, tindakan penyidikan tidak mengharuskan penyidik (ic. TERMOHON) untuk menetapkan adanya tersangka kecuali hal itu didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah yang berhasil ditemukan penyidik (ic. TERMOHON) yang menunjukkan bahwa seseorang (ic. PEMOHON) patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
 
9.Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU–XII/2014, “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” yang tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence yang tentunya tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkakan kepada PEMOHON sebagai tersangka, yang pada hakekatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen - elemen yang ada dalam suatu pasal yang disangkakan dan dihubungkan dengan minimal dua alat bukti yang sah yang ditemukan oleh TERMOHON;
 
 
 
 
10.Bahwa frasa “….guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP harus dipahami “guna menemukan tersangkanya yang memenuhi unsur kesalahan dirinya”. Unsur kesalahan (schuld) harus dibuktikan karena seseorang tidak dapat dipidana (dihukum) tanpa kesalahan. Karena itu menjadikan PEMOHON selaku Tersangka tanpa dibuktikan unsur kesalahan bagi dirinya, merupakan kesewenang-wenangan TERMOHON;
 
11.Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28 April 2015, maka frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 yang dijadikan dasar patut diduga PEMOHON karena perbuatannya sebagai pelaku tindak pidana adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Artinya secara hukum, minimal dua alat bukti yang sah itu bertitel “Pro Justisia” yang ditemukan TERMOHON dalam tahap penyidikan bukan bukti-bukti yang ditemukan dari tahap penyelidikan;
 
12.Bahwa muncul pertanyaan sejak kapan TERMOHON memperoleh minimal  dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP guna menemukan Tersangka (ic. PEMOHON)? kapan TERMOHON memperoleh keterangan saksi guna menemukan Tersangka yaitu PEMOHON?, apakah dua alat bukti yang sah itu didapat oleh TERMOHON setelah PEMOHON ditetapkan Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sp.Dik/147/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022?;
 
13.Bahwa dalam praktik hukum pada dasarnya hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh Negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam penyelidikan hingga proses pengadilan. Setiap prosedur dalam due process of law menguji dua hal, yaitu: (1) apakah Negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik Tersangka tanpa prosedur; (2) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process. (Rhonda Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States Constitution, Santa Barbara: Greenwood Publiishing Group, hal. 1);
 
14.Bahwa penentuan status PEMOHON menjadi Tersangka oleh TERMOHON yang tidak didasarkan minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sesuai Amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU–XII/2014 Tanggal 28 April 2015 merupakan tindakan sewenang-wenang, merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional PEMOHON selaku warga Negara di dalam negara berdasar hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
 
 
 
 
IV.PETITUM
 
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum PEMOHON mohon agar Ketua Pengadilan Negeri Rangkasbitung Cq. Hakim Tunggal yang memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan Praperadilan ini berkenan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
 
1.Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
 
2.Menyatakan SURAT PERINTAH PENYIDIKAN Nomor: Sp.Dik/147/XI/RES.1.24/2022/Reskrim Tanggal 6 November 2022 yang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON atas peristiwa DUGAAN TINDAK PIDANA  MEMBAWA  DAN MENGUASAI SENJATA TAJAM, ATAU TINDAK PIDANA ANCAMAN KEKERASAN sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 1951 tentang Undang-Undang Darurat atau Pasal 335 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan atau tidak mempunyai kekuatan mengikat;
 
3.Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah;
 
4.Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON;
 
5.Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Negara;
 
ATAU : Apabila Ketua Pengadilan Negeri Rangkasbitung Cq. Hakim Tunggal yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini beranggapan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
 
HORMAT KAMI FIRMA HUKUM SENOPATI
KUASA HUKUM PEMOHON,
                                     
                                                                     
            
 
 
1.MASJIKNURSAGA, S.H., M.H.
 
 
 
2.SOLIHIN, S.H.
 
 
 
3.HERI DJAUHARI, S.H. 4.UJANG KOSASIH, S.H.
 
 
 
5.DADANG SAPUTRA, S.H.
 
 
 
6.H. SATIRI, SE, SH.
 
 
 
7.FAQIH AFIF RIDLO, S.H.
Pihak Dipublikasikan Ya