Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI RANGKASBITUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Rkb 1.MUHAMMAD IKBAL MAULANA
2.RIKI NOPIAN
KASAT RESKRIM KEPOLISIAN RESOR LEBAK Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 16 Mar. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Rkb
Tanggal Surat Senin, 07 Mar. 2022
Nomor Surat 009/Gt./YMS/III/2022
Pemohon
NoNama
1MUHAMMAD IKBAL MAULANA
2RIKI NOPIAN
Termohon
NoNama
1KASAT RESKRIM KEPOLISIAN RESOR LEBAK
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

Nomor : 009/Gt./YMS/III/2022
Lampiran : 1 (satu) berkas
Perihal : Permohonan Gugatan Praperadilan
 
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Lebak
Di_
Jl. RA. Kartini No. 55, Muara Ciujung Timur, Rangkasbitung, Muara Ciujung Timur, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten 42314, Indonesia
 
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini :
YUDI SUTIRA, S.H.,
MAMAN, S.H.,
SAMSUL BAHRI, S.H.
Adalah Advokat/Pengacara/Konsultan Hukum yang tergabung pada Law Office YMS & Associates berkedudukan di Jln Raya Stadion Badak. Perumahan Puri Anugrah II Blok L3 No 6 RT : 009 RW 009 Kelurahan Saruni Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
Bertindak baik sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk dan atas nama Pemberi Kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus bermaterai cukup yang dibuat dibawah tangan dengan Nomor : 008/SKK/Pdn/YMS/III/2022 dan Nomor : 009/SKK/Pdn/YMS/III/2022, tertanggal 3 Maret 2022, maka adalah sah bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan Pemberi Kuasa yang akan disebutkan dibawah ini :
1.Nama : MUHAMMAD IKBAL MAULANA
Tempat/Tgl Lahir : Lebak, 7 Juli 1999
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa
Alamat : Kp. Parung RT 004 RW 001 Desa Cikulur Kec. Cikulur
  Kab. Lebak Provinsi Banten
NIK : 3602171004000005
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai -------------------------------- PEMOHON I
 
2.Nama : RIKI NOPIAN
Tempat/Tgl Lahir : Lebak, 5 November 1999
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Sopir
Alamat : Kp. Baluk RT 002 RW 001 Desa Cikulur Kec.
  Cikulur Kab. Lebak Provinsi Banten
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai ------------------------------- PEMOHON II
 
Pemohon I dan Pemohon II untuk selanjutnya mohon disebut sebagai --------------------------------------------------------------------------------------------------------Para Pemohon
---------------------------- M E L A W A N ----------------------------
Kepolisian RI Cq Kapolda Banten Cq Kapolres Lebak Cq Kasat Reskrim yang beralamat di Jl. Siliwangi Km. 1 Blok Cileuweung, Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai ------------------------------- TERMOHON
Dalam hal ini Para Pemohon mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dan Penangkapan serta Penahanan dalam perkara Tindak Pidana Melakukan Persetubuhan dan Perbuatan Cabul terhadap anak dibawah umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dilakukan oleh Termohon.
Adapun yang menjadi alasan permohonan Para Pemohon adalah sebagai berikut :
 
I.PENDAHULUAN
1.Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia.
2.Bahwa Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
3.Bahwa Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).
4.Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
5.Bahwa Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum didalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia.
6.Bahwa Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang pro rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
7.Bahwa Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
 
II.DASAR HUKUM PRAPERADILAN
1.Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
1.1.Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
2.Bahwa yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
2.1.Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
3.Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
3.1.Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01 / Pid. Prap / 2011 / PN. BKY tanggal 18 Mei 2011
3.2.Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK / PID / 2011 tanggal 17 Januari 2012
3.3.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38 / Pid. Prap / 2012 / Pn. Jkt. Sel tanggal 27 november 2012
3.4.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04 / Pid. Prap / 2015 / PN. Jkt. Sel tanggal 15 Februari 2015
3.5.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36 / Pid. Prap / 2015 / Pn. Jkt. Sel tanggal 26 Mei 2015 Dan lain sebagainya
4.Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
4.1.Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
4.2.Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
III.ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN :
1.Bahwa Pemohon I yang bernama Muhammad Ikbal Maulana adalahWarga Negara Indonesia, yang beraktivitas sebagai Sopir yang beralamat di Kp Parung Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak. Hal mana Pemohon I telah dituduh melakukan tindak pidana Melakukan Persetubuhan dan Perbuatan Cabul Terhadap Anak dibawah Umur sebagaimana disangkakan oleh Termohon yaitu Dugaan Tindak Pidana Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berdasarkan Laporan Polisi LP – B/12/I/2022/Res Lebak/Banten pada tanggal 10 Januari 2022;
2.Bahwa Pemohon II yang bernama Riki Nopian adalah Warga Negara Indonesia, yang beraktivitas sebagai Sopir yang beralamat di Kp Parung Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak. Hal mana Pemohon II telah dituduh melakukan tindak pidana Melakukan Persetubuhan dan Perbuatan Cabul Terhadap Anak dibawah Umur sebagaimana disangkakan oleh Termohon yaitu Dugaan Tindak Pidana Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berdasarkan Laporan Polisi LP – B/12/I/2022/Res Lebak/Banten pada tanggal 10 Januari 2022;
3.Bahwa Para Pemohon telah ditangkap dan ditahan oleh Termohon dengan secara sewenang-wenang dari Hari Minggu tanggal 23 Januari 2022, sekitar pukul 20:00 WIB, hal mana Para Pemohon tidak pernah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh Termohon;
4.Bahwa Termohon dalam melakukan Penangkapan terhadap Para Pemohon tidak pernah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap Para Pemohon;
5.Bahwa Termohon dalam menetapkan status Tersangka terhadap Para Pemohon dengan cara lebih dahulu melakukan penangkapan terhadap Para Pemohon;
6.Bahwa Termohon tidak pernah melakukan Pemeriksaan terhadap Para Pemohon dalam kapasitasnya sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Saksi oleh Termohon kepada Para Pemohon dengan Nomor S. Pgl / 20 / I / RES. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 20 Januari 2022 untuk Pemohon I dan Nomor S. Pgl / 22 / I / RES. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 20 Januari 2022 untuk Pemohon II;
7.Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam perkara Aquo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap Para Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi Korban, sebagaimana diuraikan dalam surat panggilan yang disampaikan oleh Termohon kepada Para Pemohon untuk hadir guna memberikan keterangan sebagai Saksi pada tanggal 24 Februari 2022, dengan Nomor S. Pgl / 20 / I / RES. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 20 Januari 2022 untuk Pemohon I dan Nomor S. Pgl / 22 / I / RES. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 20 Januari 2022 untuk Pemohon II;
8.Bahwa Tindakan Termohon yang telah melakukan Penangkapan dan Penahanan sebelum adanya Pemeriksaan dan Penetapan Tersangka terhadap Para Pemohon itu bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah;
9.Bahwa Surat Perintah Penangkapan yang diterbitkan oleh Termohon Mendahului ketentuan waktu yang sudah ditetapkan untuk dilakukannya pemeriksaan sebagaimana Surat Panggilan Terhadap Para Pemohon yaitu untuk hadir menemui Termohon pada hari senin tanggal 24 januari 2022 pukul 10:00 wib di ruang unit PPA Kantor Satreskrim Polres lebak;
10.Bahwa setelah Para Pemohon dilakukan penangkapan oleh Termohon, Termohon langsung melakukan Penahanan terhadap Para Pemohon sebagaimana surat Perintah Penahanan terhadap keluarga Para Pemohon dengan Nomor Surat Sp.Han/6/I/Res.1.4/2022/Reskrim Untuk Keluarga Pemohon I dan Nomor Surat Sp.Han/10/I/Res.1.4/2022/Reskrim Untuk Keluarga Pemohon II;
11.Bahwa 1 (satu) hari setelah penangkapan terhadap diri Para Pemohon, Para Pemohon baru mendapatkan Pemberitahuan terhadap Keluarga atas Penangkapan dan Penahanan diri Para Pemohon sebagaimana Surat Pemberitahuan Terhadap Keluarga Para Pemohon yang telah berstatus sebagai Tersangka, sebagaimana disebutkan dalam Surat Perintah Penahanan Nomor Sp. Han / 6 / I / Res. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 24 Januari 2022 Untuk Keluarga Pemohon I dan Nomor Sp. Han / 10 / I / Res. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 24 Januari 2022 Untuk Keluarga Pemohon II beserta Surat Perintah Penangkapan dengan Nomor : SP. Kap / 8 / I / Res. 1. 4./ 2022 / Reskrim tertanggal 23 Januari 2022 untuk Pemohon I dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP. Kap / 7 / I / Res. 1. 4. / 2022 / Reskrim tertanggal 23 Januari 2022 untuk Pemohon II, yang diserahkan kepada keluarga Para Pemohon di Kp. Parung, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak pada tanggal 24 Januari 2022;
12.Bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan oleh Termohon, itu dibuat pada saat setelah Penangkapan dan Penahanan terhadap Para Pemohon yaitu dari tanggal 23 Januari 2022, berdasarkan Surat Perintah Penangkapan dengan Nomor : SP. Kap / 8 / I / Res. 1. 4. / 2022 / Reskrim tertanggal 23 Januari 2022 untuk Pemohon I dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP. Kap / 7 / I / Res. 1. 4. / 2022 / Reskrim tertanggal 23 Januari 2022 untuk Pemohon II, dan Surat Perintah Penahanan Nomor Sp. Han / 6 / I / Res. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 24 Januari 2022 Untuk Keluarga Pemohon I dan Surat Perintah Penahanan Nomor Sp. Han / 10 / I / Res. 1. 4 / 2022 / Reskrim tertanggal 24 Januari 2022 Untuk Keluarga Pemohon II;
 
IV.URAIAN KRONOLOGIS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MUHAMMAD IKBAL MAULANA DAN RIKI NOPIAN
1.Bahwa Pada tanggal 20 Januari 2022, Para Pemohon menerima surat Panggilan dari Termohon, dalam Surat Panggilan tersebut, Para Pemohon diminta untuk menemui Termohon pada hari Senin tanggal 24 Januari 2022 Jam 10:00 WIB di Ruang Unit Lidik PPA Kantor Sat Reskrim Polres Lebak untuk didengar dan dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara aquo;
2.Bahwa pada hari Minggu tanggal 23 Januari 2022, sekira pukul 20.00 WIB, di Rumah Makan Soto Cidalung, Kp. Cidalung Desa Tambak Baya Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak, Para Pemohon diundang oleh Pelapor untuk dilakukan musyawarah beserta keluarganya. Akan tetapi ketika berada dilokasi Rumah Makan Soto Cidalung, Termohon sudah berada dilokasi Rumah Makan Soto Cidalung bersama Pelapor dan keluarganya;
3.Bahwa dilokasi Rumah Makan Soto Cidalung, Para Pemohon ditangkap dan dibawa ke Polres Lebak, penangkapan terhadap Para Pemohon dipimpin langsung oleh M. HAZALI ALFIAN, S.H;
4.Bahwa sewaktu Penangkapan terhadap Para Pemohon yang dilakukan Termohon, Termohon memperlihatkan Surat Perintah Penangkapan terhadap Para Pemohon yang mencantumkan identitas Para Pemohon, tetapi tidak menjelaskan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara yang disangkakan, hal mana Para Pemohon telah dituduh melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berdasarkan Laporan Polisi LP – B/12/I/2022/Res Lebak/Banten pada tanggal 10 Januari 2022;
5.Bahwa sebagaimana Surat Perintah Penangkapan dengan Nomor : SP. Kap / 8 / I / Res. 1. 4. / 2022 / Reskrim tertanggal 23 Januari 2022 untuk Pemohon I dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP. Kap / 7 / I / Res. 1. 4. / 2022 / Reskrim tertanggal 23 Januari 2022 untuk Pemohon II, hal mana Para Pemohon telah lebih dulu ditangkap oleh Termohon sebelum dilakukan Pemeriksaan Terhadap Para Pemohon;
6.Bahwa Para Pemohon belum pernah memenuhi Panggilan Termohon untuk diperiksa dikarenakan Para Pemohon lebih dahulu ditangkap oleh Termohon pada hari Minggu Tanggal 23 Januari 2022;
 
V.PARA PEMOHON DILAKUKAN PENANGKAPAN OLEH TERMOHON SEBELUM DIMUATNYA KETERANGAN PARA PEMOHON YANG BERSTATUS SEBAGAI SAKSI DAN ATAU TERLAPOR
1.Bahwa Surat Perintah Penangkapan yang diterbitkan oleh Termohon Mendahului ketentuan waktu yang sudah ditetapkan untuk dilakukannya pemeriksaan sebagaimana Surat Panggilan Terhadap Para Pemohon yaitu untuk hadir menemui Termohon pada hari senin tanggal 24 januari 2022 pukul 10:00 wib di ruang unit PPA Kantor Satreskrim Polres lebak;
2.Bahwa setelah Para Pemohon dilakukan penangkapan oleh Termohon, Termohon langsung melakukan Penahanan terhadap Para Pemohon;
3.Bahwa sebagaimana diketahui, Para Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Para Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Saksi oleh Termohon kepada Para Pemohon dengan Nomor S.Pgl/20/I/RES.1.4/2022/Reskrim tertanggal 20 Januari 2022 dan Nomor S.Pgl/22/I/RES.1.4/2022/Reskrim tertanggal 20 Januari 2022, tidak pernah membuktikan Para Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Para Pemohon dipanggil sebagai Saksi oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Para Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Para Pemohon. Para Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah dilakukan penangkapan dan belum ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 23 Januari 2022;
4.Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
5.Bahwa sebagaimana Point 4 diatas, Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti;
6.Bahwa “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”;
7.Bahwa Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
8.Bahwa Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Reserse Kriminal Khusus Polres Lebak.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka dan Penagkapan serta Penahanan terhadap diri Para Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
 
VI.TIDAK ADA PENYELIDIKAN TERHADAP DIRI PARA PEMOHON
1.Bahwa sebagaimana diakui oleh Para Pemohon, penetapan tersangka terhadap diri Para Pemohon tidak dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan terhadap Para Pemohon;
2.Bahwa Status Tersangka terhadap Para Pemohon baru diketahui oleh Para Pemohon setelah adanya surat perintah penangkapan, berdasarkan Surat Perintah Penangkapan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Keluarga Para Pemohon dengan Nomor SP.Kap/8/I/Res.1.4/2022/Reskrim tertanggal 23 Januari 2022. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Para Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
3.Bahwa menurut Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
4.Bahwa Terhadap Tindakan Termohon yang telah melakukan Penangkapan dan Penahanan terhadap Para Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP.
Pasal 21
Ayat (1)
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Ayat (2)
Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
5.Bahwa syarat penetapan tersangka diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dimana dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa Penetapan Tersangka sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP harus berdasarkan :
(1) minimal 2 (dua) alat bukti
(2) disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
6.Bahwa Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan, Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.
7.Lebih lanjut, bahwa Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, memberikan pengertian tentang “bukti yang cukup” Yaitu berdasarkan dua alat bukti ditambah keyakinan penyidik yang secara objektif (dapat diuji objektivitasnya) mendasarkan kepada dua alat bukti tersebut telah terjadi tindak pidana dan seseorang sebagai tersangka pelaku tindak pidana.
8.Bahwa berdasarkan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Perkap Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti. Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seserong hanya bisa ditetapkan sebagai tersangka bila terdapat minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan, sebelumnya telah pernah diperiksa sebagai calon tersangka/saksi.
9.Bahwa Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sementara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka tersangka dapat mengajukan praperadilan, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan pada Pasal 77 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
10.Bahwa hal itu senada dengan Penyelidikan dan Penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
11.Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
12.Bahwa Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 (dua) hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
 
 
VII.PARA PEMOHON DITANGKAP DAN DITAHAN SEBELUM DIMINTAI KETERANGAN
1.Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana berkas perkara telah dinyakan lengkap (P-21), akan tetapi masih dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.
2.Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Sehinga dengan demikian apabila telah dinyatakan (P-21). Penyidik tidak dapat lagi melakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan.
3.Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menyatakan (P-21) akan tetapi masih dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka surat panggilan tersebut merupakan panggilan yang tidak sah dikarenakan Penyidik tidak memiliki kompetensi guna melakukan Penyidikan, karena beban tugas dan tanggung jawab telah berpindah kepada Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Para Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.
 
VIII.TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PARA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
1.Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam perkara Aquo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak oleh Polres Lebak Satuan Reserse Kriminal terhadap Para Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi Korban, sebagaimana diuraikan dalam surat panggilan yang diterbitkan oleh Termohon terhadap Para Pemohon untuk hadir guna memberikan keterangan sebagai Saksi pada tanggal 24 Februari 2022, dengan Nomor S.Pgl/20/I/RES.1.4/2022/Reskrim tertanggal 20 Januari 2022 dan Nomor S.Pgl/22/I/RES.1.4/2022/Reskrim tertanggal 20 Januari 2022.
2.Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
3.Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Para Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Para Pemohon sebagai Tersangka dalam Perkara Aquo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No 17 Tahun 2016 Atas Perubahan Kedua UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dilakukan oleh Termohon terhadap Para Pemohon.
4.Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
 
IX.SYARAT FORMIL DAN MATERIL PENETAPAN TERSANGKA DAN PENANGKAPAN SERTA PENAHANAN TERHADAP PARA PEMOHON TIDAK TERPENUHI
VII.I. Cacat formil penetapan tersangka dan penangkapan serta penahanan.
1.Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses Penetapan Tersangka dan penangkapan serta penahanan yang dilakukan Termohon terhadap Para Pemohon terbukti bahwa proses penetapan Tersangka dan penangkapan serta penahanan tersebut cacat formil karena telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.”
2.Bahwa proses penetapan tersangka dan penangkapan serta penahanan terhadap Para Pemohon terbukti telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan: “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”
VII.II. Cacat Materil atas Penetapan Tersangka dan Penangkapan serta Penahanan terhadap Para Pemohon
1.Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan di atas, terbukti bahwa penetapan tersangka dan penangkapan serta penahanan yang dilakukan oleh Termohon cacat materil. Hal ini akan Para Pemohon jelaskan sebagai berikut ini:
1.1.Penangkapan terhadap Para Pemohon
Bahwa ketentuan pasal 17 KUHAP menyatakan: “Perintah penangkapan dilakukan seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti pemulaan yang cukup.” Lebih lanjut penjelasan pasal 17 KUHAP menyatakan: “yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.” Pasal 1 butir 14 menyatakan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
2.Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam pemeriksaan, Para Pemohon terbukti bahwa Termohon tidak memiliki alat bukti yang sah sesuai ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, karena hanya :
2.1.Para Pemohon mengakui dugaan Polisi yang disangkakan karena ditekan oleh penyidik.
3.Bahwa keterangan yang disampaikan Para Pemohon terhadap Termohon sudah berstatus sebagai tersangka dan dalam keadaan di tekan, bahwa keterangan yang disampaikan oleh Para Pemohon terhadap Termohon sama sekali tidak dapat dijadikan petunjuk atas telah terjadinya sebuah tindak pidana yang disangkakan terhadap Para Pemohon, karena berdasarkan ketentuan pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh dari: (a) keterangan saksi; (b) surat dan (c) keterangan terdakwa. Disamping itu, keterangan yang dihimpun dari Para Pemohon diperoleh dengan melakukan penekanan terlebih dahulu, sehingga kualitas keterangan yang diperoleh Termohon telah melanggar standard-standard Hak Asasi Manusia.
VII.III. Penahanan terhadap Pemohon
1.Bahwa ketentuan pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan: “perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga kerena melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang buti dan atau mengulangi tindak pidana.”
2.Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses pemeriksaan terhadap Para Pemohon, Termohon tidak memiliki cukup bukti untuk melakukan Penangkapan dan penahanan terhadap Para Pemohon karena Penangkapan dan Penahanan hanya didasarkan pada alat bukti berupa Keterangan Saksi Korban dan Para Pemohon yang berada di bawah tekanan dan sesungguhnya tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
X.PENETAPAN PARA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1.Bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya yaitu UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum, artinya kita semua selaku Warga Negara Indonesia harus tunduk terhadap hukum dan Hak Azasi Manusia serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian mengenyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut, maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2.Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3.Bahwa Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
4.Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5.Bahwa bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
5.1. – ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
5.2. – dibuat sesuai prosedur; dan
5.3.  – substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
6.Bahwa sebagaiman yang telah diuraikan oleh Para Pemohon diatas, bahwa Penetapan tersangka dan Penangkapan serta Penahanan terhada Para Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Para Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
1.1.“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
1.2.Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
2.Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon terhadap Para Pemohon dengan menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka dan ditangkap serta ditahan yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Lebak yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka dan penangkapan serta penahanan terhadap Para Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
 
XI.PERMINTAAN GANTI KERUGIAN DAN ATAU REHABILITASI
1.Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas dihubungkan dengan hak-hak Para Pemohon, menurut KUHAP, Pasal 81, 95 ayat (1), 97 ayat (3) KUHAP serta jaminan prosedur yudisial guna pemenuhan kerugian-kerugian serta pemulihan atau rehabilitasi atas tercemarnya nama baik Para Pemohon dan keluarga di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh pasal 9 ayat (5) Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak sipil Politik yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak atas kompensasi yang dapat diberlakukan.”
2.Bahwa akibat perbuatan sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan serta penahanan terhadap Para Pemohon telah menimbulkan kerugian baik kerugian materil maupun kerugian im-materil, maka oleh sebab itu Para Pemohon dalam hal ini merinci jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Termohon, yaitu sebagai berikut:
a.Kerugian Materil:
Kehilangan Penghasilan:
Pemohon I bernama Muhamad Ikbal Maulana adalah seorang Sopir yang bekerja secara terus menerus setiap harinya berpenghasilan Rp. 50.000/hari, oleh karena ditahan sewenang-wenang dari tanggal 23 Januari hingga sekarang berjumlah 1 bulan lebih x Rp. 50.000/harinya, maka Pemohon I mengalami kerugian karena kehilangan penghasilan sebanyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah);
Pemohon II bernama Riki Nopian adalah seorang Sopir yang bekerja secara terus menerus setiap harinya berpenghasilan Rp. 50.000/hari, oleh karena ditahan sewenang-wenang dari tanggal 23 Januari hingga sekarang berjumlah 1 bulan lebih x Rp. 50.000/harinya, maka Pemohon II mengalami kerugian karena kehilangan penghasilan sebanyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah);
b.Kerugian Imateril :
Bahwa akibat penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon itu tidak sah, menyebabkan tercemarnya nama baik Para Pemohon, hilangnya kebebasan, menimbulkan dampak psikologis terhadap Para Pemohon dan keluarga Para Pemohon, dan telah menimbulkan kerugian im-materil yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga dibatasi dengan jumlah Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah);
XII.PETITUM
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon kiranya segera diadakan sidang praperadilan terhadap Termohon sesuai dengan hak-hak Para Pemohon, sesuai dengan pasal 79 jo 78 jo 77 KUHAP, kami meminta:
1.Pada waktu pemeriksaan praperadilan ini, mohon Para Pemohon dipanggil dan dihadapkan dalam persidangan Praperadilan dan didengar keterangan-keterangannya;
2.Kepada Termohon selaku Penyidik diperintahkan untuk membawa berkas-berkas Berita Acara Pemeriksaan dan alat-alat bukti atas penetapan tersangka dan Penangkapan serta Penahanan terhadap Para Pemohon berupa Surat Panggilan dan Surat Perintah Penangkapan serta Surat Perintah Penahanan ke dalam sidang dan menyerahkannya kepada Hakim Pra peradilan.
Selanjutnya melalui pengadilan ini, mohon diberikan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1.Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2.Menyatakan Penetapan Tersangka terhadap diri Para Pemohon yang dilakukan oleh Termohon yang diajukan dalam Pra Peradilan ini adalah tidak sah;
3.Menyatakan penangkapan terhadap diri Para Pemohon oleh Termohon yang diajukan dalam Praperadilan ini adalah tidak sah;
4.Menyatakan penahanan terhadap diri Para Pemohon oleh Termohon yang diajukan dalam Praperadilan ini adalah tidak sah;
5.Menghukum Termohon untuk mengeluarkan Para Pemohon dari tahanan;
6.Menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian, berupa:
Kerugian Materil:
Membayar ganti kerugian materiil Karena Para Pemohon kehilangan Penghasilan atau pendapatan sebanyak Rp 16.900.000 (enam belas juta sembilan ratus ribu rupiah)
Kerugiaan Im-materil:
Membayar ganti kerugian im-materil yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga dibatasi dengan diperkirakan Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
7.Memerintahkan Termohon untuk merehabilitasi nama baik Para Pemohon dalam sekurang-kurangnya pada 10 media televisi nasional, 10 media cetak nasional, 4 media harian cetak lokal, 6 Tabloid Mingguan Nasional, 6 Majalah Nasional, 1 Radio Nasional dan 4 Radio lokal;
8.Membebankan semua biaya perkara Praperadilan ini kepada Termohon.
Para Pemohon  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lebak yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lebak yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Lebak, 15 Maret 2022
Hormat kami,
Advokat / Penasehat Hukum pada Law Office
Y.M.S & ASSOCIATE
 
 
YUDI SUTIRA, S.H.,
 
 
MAMAN, S.H.,
 
 
SAMSUL BAHRI, S.H.
Pihak Dipublikasikan Ya